Bertani dengan cara membakar lahan sudah dilakukan selama bertahun-tahun. Namun demikian, ketika ekosistem gambut semakin lama semakin rusak, hal ini tidak mudah lagi dilakukan. Apalagi saat musim kemarau, cara tersebut semakin memperbesar potensi kebakaran hutan dan lahan terjadi sangat parah. Pemerintah daerah pun kemudian menerapkan larangan membakar lahan diterapkan dengan tegas dan melakukan penegakan hukum bagi para pelanggarnya.
Hal ini menyebabkan banyak petani di lahan gambut ketakutan. Mereka menghadapi dilema. Di satu sisi takut dengan ancaman hukuman. Di sisi lain, harus tetap melanjutkan kegiatan pertanian untuk kebutuhan rumah tangga. Seperti yang dialami Ismail dan warga Pedekik. Yang mereka lakukan kemudian adalah “kucing-kucingan” dengan aparat yang melakukan patroli.
Badan Restorasi Gambut kemudian datang. Melalui Suwardi, fasilitator Desa Peduli Gambut BRG di desa Pedekik, Bengkalis, Riau, mendatangi Ismail tahun 2019 dan menawarkan Ismail ikut dalam kegiatan Sekolah Lapang Petani Gambut yang diselenggarakan BRG. Melalui Sekolah Lapang itu, Ismail mulai terbuka pikirannya. Bertani tanpa membakar itu ternyata bisa dilakukan sekaligus bisa membuat pupuk dan pestisida alami. Tidak hanya Ismail,cerita menarik lain dari Sukamtono dari desa Rawa Bangun, Kabupaten Indragiri Hulu yang juga aktif di Sekolah Lapang BRG. Dari hasil demplotnya secara swadaya, Sukamtono senang tanaman jagungnya kini tumbuh subur.
Menurut Deputi Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan BRG, Myrna A. Safitri, Sekolah Lapang Petani Gambut yang diselenggarakan BRG, bertujuan menemani para petani gambut untuk melakukan pertanian dengan baik. Bertani yang baik di lahan gambut adalah tidak membakar, menggunakan bahan-bahan alami yang tidak merusak lingkungan, tidak lagi melakukan pembukaan lahan baru, serta menumbuhkan keswadayaan yang tinggi.
Berikut tautan kisah lengkapnya: