Dalam mendukung upaya Pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi karbon sebanyak 29% dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan dukungan internasional hingga 2030, Badan Restorasi Gambut telah menjalankan program pembasahan lahan gambut (rewetting) baik dengan pembangunan sekat kanal, penimbunan kanal-kanal, maupun pemasangan ribuan sumur bor. Ini dilakukan untuk mencegah terulangnya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) pada 2015.
Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Foead mengatakan berdasarkan hasil tiga penelitian yang mengukur besarnya emisi karbon akibat karhutla pada 2015, emisi karbon tahun 2015 tercatat berkisar 800 juta — 1,62 miliar ton karbondioksida. “Tahun 2016 luas areal lahan yang terbakar dan jumlah titik api berkurang drastis, dan terus berkurang sampai 2017,” kata Nazir di Jakarta, Jumat (2/2). Keadaan ini didukung pula oleh kembalinya musim kemarau normal pada 2017, dibandingkan 2015 dengan serangan gelombang panas El Nino.
“Dari beberapa lembaga penelitian asal Eropa dilaporkan bahwa dengan penurunan drastis luas area terbakar dan jumlah titik api, maka emisi karbon pun berkurang hingga 90 persen pada 2016,” kata Nazir Foead, sambil menambahkan bahwa pencapaian ini tentunya tak terlepas dari dukungan semua pihak. BRG yang dibantu para peneliti dari CIFOR, UGM, dan UNDP sedang menghitung berapa persisnya reduksi emisi karbon yang bisa dicapai dari kegiatan pembasahan gambut itu.
Dengan usaha BRG ini Indonesia diharapkan bisa mencapai target pengurangan emisi 29 persen hingga 2020 dan 41 persen pada 2030. “Dengan kerja keras semua pihak kita optimis target penurunan emisi karbon tercapai,” kata Nazir.
Selain rewetting, BRG juga melakukan revegetasi (penanaman jenis tanaman asli gambut) dan revitalisasi atau pemberdayaan masyarakat di area restorasi gambut. Hal ini dikenal dengan pendekatan 3R, yakni rewetting, revegetasi, dan revitalisasi.