Sebagai negara dengan hutan mangrove terluas di dunia, yakni sebesar 3,36 juta hektare, Indonesia berkomitmen kuat berkontribusi mengatasi perubahan iklim dunia dengan menurunkan Gas Rumah Kaca. Salah satunya yaitu percepatan rehabilitasi mangrove yang dilakukan oleh Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM).
Adapun 9 provinsi yang menjadi prioritas rehabilitasi mangrove adalah Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Papua dan Papua Barat.
“Dalam merehabilitasi mangrove, kami melakukan pendekatan strategis secara komprehensif dan memperkenalkan 3M, yaitu memulihkan, meningkatkan dan mempertahankan,” ujar Sekretaris BRGM, Ayu Dewi Utari dalam sesi talkshow Indonesia Pavilion COP 26 UNFCCC yang digelar secara virtual hari ini (8/11).
“Perbedaan kegiatan 3M itu, kalau M1 dan M2 adalah penanaman diikuti pemberdayaan masyarakat dan kegiatan lain, sedangkan M3 adalah mempertahankan di areal mangrove rapat, sehingga keberadaan mangrove rapat betul-betul bisa dipertahankan dan tidak dikonversi,” sambungnya,
Bahkan, BRGM menyebut rehabilitasi mangrove yang dilakukan melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dinilai efektif dalam meningkatkan ekonomi masyarakat di masa pandemi.
“Dari catatan di lapangan, kita lihat terjadi pergerakan ekonomi masyarakat di situ, umumnya nelayan, buruh-buruh yang bekerja di tambak mengalami penurunan ekonomi. Pendapatan mereka sebelum COVID sekitar Rp2 juta-Rp4 juta, kemudian COVID banyak penutupan pasar, pendapatan mereka pun turun drastis hampir 50 persen. Nah, PEN mangrove ini kan polanya swakelola, upah yang langsung masuk ke rekening masyarakat, catatan kami itu penghasilan mereka meningkat 70 persen, ada peningkatan sebesar 20 persen,” ungkap Ayu.
Hal senada juga diutarakan oleh Direktur Konservasi Tanah dan Air, Muhammad Zainal Arifin bahwa pendekatan stimulus ekonomi memang mendorong penanaman mangrove secara intensif.
“Kita betul-betul memperkenalkan program swakelola rehabilitasi mangrove dengan aktivitas baru. kita lakukan terobosan account to account ke rekening petani, itu sebuah pergerakan yang bisa dilihat dari stimulus ekonomi ke masyarakat nyata. Mengelola mangrove itu sama dengan mengelola pesisir masyarakat, di mana masyarakat adalah ujung tombak keberhasilan rehabilitasi mangrove,” tegas Zainal Arifin.
Namun merehabilitasi mangrove bukanlah hal mudah, karena ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi seperti pertambangan timah dan pertambakan udang yang bisa merusak ekosistem mangrove itu sendiri.
“Pertama misal ada aktivitas tambang timah di Bangka Belitung, nah ini yang harus dilakukan pendekatan ke masyarakat bagaimana mengelola mangrove dengan baik. Meksipun mungkin timah penghasilannya lebih tinggi, tapi dengan pendekatan Dan edukasi ke masyarakat, mereka sudah mulai tertarik terlibat dalam rehabilitasi mangrove, mulai dari menyediakan bibit hingga bahan lain yang diperlukan,” ujar Onseimus Patiung, Ketua Kelompok Kerja Rehabilitasi Mangrove Wilayah Sumatera BRGM.
Sementara itu, Eko Budi Priyanto dari Yayasan Lahan Basah menjelaskan bahwa perlu adanya edukasi terkait pertambakan ramah lingkungan agar ekosistem mangrove tidak rusak, terutama dalam menerapkan konsep silvofishery atau sistem pertambakan teknologi tradisional yang menggabungkan antara usaha perikanan dengan penanaman mangrove.
“Silvofishery itu harusnya dibuat dari lahan yang tidak ada lalu ditanam mangrove dan budidaya, bukan dari lahan yang sudah ada baru dibuat pertambakan. Tantangan utamanya adalah bagaimana petani tambak merelakan tambaknya ke dalam, sehingga mangrove bisa tumbuh. Melalui konsep sederhana itulah, apabila kegiatan konservasi ini berhasil maka perlu adanya pendamping desa dan kontrak khusus agar bisa terus berkelanjutan,” pungkas Eko.
Oleh karena itu, rehabilitasi mangrove ini perlu upaya bersama secara terpadu, mulai dari BRGM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), pemerintah daerah, masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), serta pihak swasta lainnya untuk mempercepat pelaksanaan rehabilitasi mangrove nasional.