Effendi dan Mustapa sudah mengubur masa lalunya di kampung. Masa kelam ketika dia dan sebagian penduduk Desa Telago Limo di Kecamatan Berbak, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, harus menafkahi keluarganya dengan menebang kayu secara liar di hutan. Sebuah usaha yang tak menipu hasilnya. “Mencari kayu membuat kami harus selalu berhadapan dengan hukum, banyak masalah, dikejar-kejar polisi hutan tapi hasilnya pas-pasan, malah cenderung kurang,” kata Effendi.
Warga Desa Telago Lima sebagian mencari nafkah sebagai nelayan, sebagian lagi bertani. Tapi tak sedikit juga yang seperti Effendi, menembus hutan dan menebang kayu. Berbekal keresahan pada cara penghidupan yang tak layak, serta sedikit bermodal nekat, Effendi dan kawan-kawan mendirikan Pokmas Telago Jaya dengan Mustapa bertindak sebagai ketua dan Effendi menjadi bendahara. Pokmas ini lalu menerima bantuan dari Badan Restorasi Gambut untuk merevitalisasi lahan gambut bagi peningkatan ekonomi masyarakat.
Melalui bantuan ini, Pokmas Telago Jaya membeli 11 kotak bibit lebah madu. Senang bukan main, bibit lebah itu pun dibawa pulang ke kampung. Tapi apa daya, tak lama usaha mereka gagal total! Lebah-lebahnya mati sebab sedikit sekali sumber makanan alami yang tersedia di sekitar desa mereka.
Kegagalan ini membuat sebagian anggota mundur. Tapi yang lain belum jera. Mereka kembali membeli bibit 11 kotak lebah madu. Tapi kali ini mereka menempatkan kotak-kotak itu di Desa Rantau Karya, yang jauhnya 120 km dari desa mereka.
Lokasi baru ini dipilih sebab berada dekat dengan hutan tanaman industri akasia milik sebuah perusahaan swasta. Berbekal belajar otodidak maupun mengikuti pelatihan khusus, mereka tahu bahwa ternyata daun akasia dapat menghasilkan cairan yang merupakan makanan alami lebah tanpa merusak pohon akasia itu sendiri. Bak prinsip simbiosis mutualisma, penyerbukan lebah pada pohon akasia diyakini justru membantu memperbesar ukuran batangnya.
Dan bum! Lokasi yang tepat, asupan makanan yang melimpah, membuat populasi lebah bertambah dan produksi madu pun meningkat. Pelan tapi pasti, Effendi dan anggotanya bisa menambah kotak lebah mereka, dari 11 menjadi 31, dari 31 bahkan menjadi 217 kotak baru. Mereka juga mengurus 4.000 kotak lebah milik masyarakat yang dititipkan di delapan lokasi, dengan sistem bagi hasil 25 persen.
Bukan main manis hasil usaha lebah madu yang mereka nikmati. Mereka bisa memanen sampai 10 ton madu setiap kali panen. Pada musim hujan mereka bisa panen dua kali sebulan dan pada musim kemarau, mereka bisa panen antara tiga sampai empat kali sebulan. Hasilnya, kini mereka bisa menafkahi keluarganya dengan memadai, kalau tak mau disebut lebih dari cukup.
Tapi hasil yang jauh lebih bermakna sebetulnya adalah mereka berhasil menciptakan lapangan kerja dan meraih kepercayaan petani maupun para penebang liar untuk meninggalkan cara hidup lama mereka yang berpotensi merusak hutan lahan gambut dan dapat memicu kebakaran. Banyak dari mereka yang kini terjun jadi peternak atau bekerja di usaha peternakan madu yang tumbuh bak jamur di musim penghujan. “Sebab minat orang pada peternakan lebah tinggi sekali apalagi dengan potensi kenaikan pendapatan bisa sampai empat kali lipat,” katanya.