Pandemi Covid-19 saat ini berdampak kemana-mana termasuk perkiraan turunnya produksi pertanian. Akan tetapi, di Kalimantan Tengah tepatnya di desa Saka Kajang, tantangan semacam ini bisa disiasati oleh ibu-ibu yang tergabung dalam Kelompok Tani Perempuan Peduli Gambut. Desa Saka Kajang, Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, memiliki luas 2.171 hektar yang 60 persennya merupakan gambut dengan kedalaman gambut 0,2-2 meter.
Ibu ibu kelompok tani memanfaatkan pekarangan rumah mereka untuk menjaga ketahanan pangan keluarga bahkan daerahnya. Kebun ibu Yohana, ketua Kelompok Tani Perempuan Peduli Gambut, Desa Saka Kajang, tidak seberapa lebar, hanya 15×10 meter. Tapi kebunnya rimbun dan subur dengan bermacam-macam sayur dan tanaman keras. Selain terung, ada juga komoditas lainnya, seperti cabai, bayam, tomat, dan sayuran lokal seperti teken parei.
Teken parei daunnya mirip seperti daun melinjo, tetapi lebih pendek. Daunnya biasanya digunakan untuk sayur. Untuk pohon-pohon keras ada karet, jelutung, hingga belangiran. Bahkan ada tanaman khas gambut yang biasa digunakan masyarakat suku Dayak untuk obat tradisional dengan mengambil bagian akarnya. Akarnya bisa direbus untuk obat demam dan lainnya.
Ibu Yohana tergabung dalam Kelompok Tani Perempuan Peduli Gambut bentukan Badan Restorasi Gambut (BRG) RI bersama mitra kerja Lembaga Kemitraan. Kelompok itu dibentuk sebagai bagian dari Desa Peduli Gambut (DPG). Kelompok itu dibentuk tahun 2019 dengan jumlah anggota awal 30 orang. Namun, hanya sembilan orang yang aktif yang juga memiliki kebun serupa di pekarangannya masing-masing.
Semua proses pengolahan lahan dilakukan tanpa membakar, dimana bimbingan dan peningkatan kapasitas melalui fasilitator desa yang tinggal bersama masyarakat desa. Selain memfasilitasi cara berkebun, mereka juga membantu memasarkan produk-produk unggulan dari desa tersebut.
Deputi Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan Badan Restorasi Gambut Myrna Safitri mengungkapkan, program pendampingan bagi masyarakat merupakan bentuk revitalisasi ekonomi. Hasilnya diharapkan bisa dipakai untuk memelihara atau mengoperasikan infrastruktur pencegahan kebakaran lahan gambut, seperti sumur bor dan sekat kanal yang sudah dibangun.
Dampak lain, gambut terjaga karena aktivitas mengolah lahan tanpa bakar. Pola ini membuat kegiatan restorasi lebih baik dan gambut terjaga. ”Jika dimanfaatkan dengan bijak, gambut menjadi lahan yang sangat produktif,” kata Myrna.
Beragam inovasi pengolahan lahan gambut tanpa membakar berujung pada pemenuhan biaya hidup sehari-hari masyarakat, seperti sekolah anak dan biaya kesehatan. Dengan inovasi, lingkungan gambut juga terjaga.