Kebakaran hutan dan lahan khususnya yang terjadi di areal gambut umumnya muncul di areal-areal konflik, baik konflik antara masyarakat dengan perusahaan atau konflik antar desa, serta daerah yang jauh dari pemukiman warga.
“Selain itu, konflik juga terjadi di areal yang secara de fakto adalah lahan open access,” kata Deputi Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan pada Badan Restorasi Gambut (BRG) RI, Dr. Myrna A. Safitri ketika menjadi narasumber pada Webinar Nasional bertema Quo Vadis Hukum Indonesia dalam Menghadapi Perayaan Karhutla yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Tanjung Pura, Rabu (2/9).
Kebakaran pada lahan-lahan objek konflik biasa muncul karena ada pihak-pihak yang ingin melampiaskan kekecewaan karena tidak dapat menguasai dan memanfaatkan lahan. Di sisi lain, pengendalian karhutla memang memerlukan penegakan hukum. Akan tetapi hal lain yang juga perlu adalah pemberdayaan hukum dan akses keadilan untuk masyarakat. Akan tetapi, akses pada keadilan hukum tidak ada, sehingga masyarakat tidak mendapat perolehan perlindungan hak-haknya.
Oleh karena itu, BRG sejak 2017 memfasilitasi pembentukan paralegal masyarakat gambut untuk memperkuat akses keadilan dan pemberdayaan hukum masyarakat. Hingga saat ini telah ada 759 orang paralegal, 12% nya perempuan, yang tersebar di sejumlah desa peduli gambut. Mereka diberikan pemahaman tentang kerangka hukum dalam restorasi gambut, pengetahuan dasar hukum, serta ketrampilan dalam melakukan pemetaan konflik dan resolusi konflik.
Informasi lebih lengkapnya, dapat diakses melalui:
I