Desa Sungai Tohor yang berada di Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kepulauan Meranti, Riau diberkahi keunikan pulau gambut ombrogen, yang bercirikan lahan tidak subur dan suplai air hanya dari hujan, namun demikian di atasnya berkembang hutan rawa gambut yang lebat dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Di antara flora alami yang tumbuh di pulau ini terdapat banyak pohon sagu.
Pohon ini memberikan berkah yang amat besar untuk menopang perekonomian masyarakat. Dari batang pohon inilah masyarakat memperoleh sagu yang kemudian diolah menjadi tepung basah. Komoditi sagu sudah menjadi mata pencaharian utama warga Sungai Tohor. Selain untuk dijual di pasar lokal, juga mensuplai industri makanan berbahan sagu ke Cirebon, Jawa Tengah dan bahkan telah diekspor ke Malaysia selama lebih dari satu dasawarsa terakhir.
Kebakaran dan bencana kabut asap hebat di Pulau Meranti tahun 2014 lalu, menjadi momok bagi warga setempat karena merambat hingga mencapai wilayah gambut di desa Sungai Tohor. Saat itu, Presiden Jokowi meninjau langsung dampak kebakaran yang ditimbulkan dan berinisiatif untuk membuat sekat kanal sekaligus melakukan penanaman sagu secara simbolis.
Pada Jumat 2 Agustus 2019, Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG), Nazir Foead bersama Kepala BNPB, Gubernur Riau, Deputi Bidang Penelitian dan Pengembangan BRG, Deputi I PMK, Danrem Riau, Direktur Pengendalian Hutan dan Lahan KLHK, beserta utusan dari Kantor Staf Presiden berkunjung ke desa Sungai Tohor. Kunjungan ini dimaksudkan untuk melihat kearifan masyarakat menjaga tata air gambut dengan sekat kanal yang telah dibangun bersama BRG. Di satu kanal yang cukup panjang ini, BRG bersama masyarakat membangun 11 sekat untuk memperkokoh fungsi sekat kanal permanen yang dibangun Presiden di 2014. Kini ke-12 sekat di kanal panjang ini berhasil menjaga tata air gambut dengan baik. “Tanah gambut pada lapisan sekitar 20-30 cm dari permukaan yang kita gali masih lembab dan basah, ini tentunya akan membuat gambut sulit terbakar,” ujar Nazir.
Kepala Desa Sungai Tohor, Efendi mengungkapkan bahwa, walau sudah hampir 3 bulan tidak hujan, ketinggian air muka gambut masih terjaga berkat sekat kanal. Saat ini masyarakat membangun embung, untuk menampung air hujan juga. Kanal yang disekat meningkatkan kelembaban tanah, dimana semakin basah tanah gambut, semakin subur tanaman sagu masyarakat tumbuh, semakin banyak tual sagu yg dihasilkan, semakin besar pendapatannya.
“Kami berterima kasih kepada BRG, dengan adanya bantuan sekat kanal, produksi sagu kami jadi meningkat, tadinya 60 tual (gelondongan) sekarang 105 tual,” ujar Sarifudin, Ketua Pokmas Peduli Kampung.
Restorasi gambut sudah dilakukan oleh masyarakat dengan cara mereka sendiri. Keberhasilan masyarakat Sungai Tohor merestorasi gambut dengan menyekat kanal, sehingga gambut menjadi basah serta lembab, dapat menjadi model bagi wilayah bergambut lainnya. Jika gambut terjaga, tetap basah dan tidak mudah terbakar, tanaman sagu tumbuh di kerimbunan, secara bersamaan akan menopang ekonomi masyarakat dan sekaligus menjaga ekosistem gambut. Model dan contoh pengetahuan dasar serta dan kearifan lokal semacam ini dapat menjadi model pembelajaran merestorasi gambut di tempat lainnya. (NI)