Mereka dididik untuk mampu menularkan kesadaran menjaga lahan gambut agar tetap lestari. Bagaimana caranya?

Rasanya matahari hanya sejengkal dari kepala ketika para sukarelawan berdiri di tepi kanal mendengarkan penjelasan Silpanus (42) tentang sekat kanal, Jumat (21/6/2024). Saking panasnya, beberapa sukarelawan berlindung di bawah payung. Silpanus merupakan koordinator warga peduli api di Desa Tumbang Nusa, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Dia menginisiasi warga untuk membuat sekat kanal agar air di lahan gambut tidak cepat mengalir keluar sehingga lahan gambut tetap basah.

Dalam kesempatan tersebut, 15 sukarelawan yang mengikuti acara Ekspedisi Sobat Muda Menyusuri Gambut dan Tur Media menggali latar belakang gerakan yang digagas Silpanus serta strategi mencegah kebakaran lahan gambut. Silpanus menjelaskan, debut air di lahan gambut harus ditahan sebisa mungkin agar lahan tetap basah dan tidak rawan kebakaran. ”Kanal ini dalamnya berapa meter dan kenapa harus ada kanal, Pak?” tanya Umar Ahmad Muslih (21), mahasiswa Universitas Negeri Jakarta, salah seorang sukarelawan.

Silpanus mengatakan, kedalaman air kanal mencapai 2 meter. Kanal itu dibuat warga sebagai jalur alternatif transportasi. Sebab, ketika jalan darat bermasalah, warga bisa menggunakan perahu. Sekat kanal yang dibuat dari kayu dan pasir ini memiliki papan untuk menutup dan membuka kanal, serupa pintu air. Tatkala ada perahu yang hendak lewat, sekat dibuka.

Jawaban-jawaban itu dicatat Umar dengan saksama pada notes. Beberapa rekannya melakukan hal serupa sembari merekam menggunakan ponsel. Mereka kemudian memotret Silpanus sebelum berfoto bersama. Selepas itu, mereka bergeser ke sekat kanal lain yang berjarak sekitar 1 kilometer dari sekat kanal pertama. Di sini, para sukarelawan melihat sekat kanal berbahan kanvas beton yang kedap air.

Anak-anak muda ini punya kemampuan yang nyambung dengan kebiasaan kaum milenial. Kami berharap terbantu dengan aksi-aksi mereka.

Para peserta juga diajak mengenali lebih jauh vegetasi yang tumbuh di lahan gambut. Mereka melihat lebih dekat beberapa tanaman paku-pakuan (Pteridophyta), seperti kelakai (Stenochlaena palustris), pedang paku (Nephrolepis biserrata), dan paku rawa (Acrostichum aureum). Mereka juga mengenal purun (Lepironia articulata) di lahan gambut.

Purun banyak dimanfaatkan untuk berbagai kerajinan tangan. ”Namanya purun karena dia nurut, mau dibuat apa saja,” gurau Kepala Kelompok Kerja Perencanaan Anggaran dan Hukum Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Didy Wuryanto, yang turut mendampingi sukarelawan. Purun dalam bahasa Jawa berarti mau atau bersedia.

Didy menuturkan, 15 sukarelawan yang direkrut BRGM itu diseleksi dari sekitar 500 pendaftar. Mereka berasal dari beberapa daerah, seperti Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Jakarta. Dia berharap nanti para sukarelawan ini bisa menjadi pemengaruh atau setidaknya sosok-sosok yang mampu menulis atau membuat konten tentang gambut. ”Anak-anak muda ini punya kemampuan yang nyambung dengan kebiasaan kaum milenial. Kami berharap terbantu dengan aksi-aksi mereka,” kata Didy.

Dia menambahkan, Ekspedisi Sobat Muda Menyusuri Gambut dan Tur Media digelar di area perkemahan Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Tumbang Nusa dan Program 3R (Rewetting, Revegation, Revitalization) di Provinsi Kalimantan Tengah.

Para sukarelawan itu dikumpulkan di Pusat Informasi Standar dan Iptek Gambut Camppeat KHDTK Tumbang Nusa, Pulang Pisau. Mereka diajak mengunjungi pusat produksi tingkat rumah tangga tepung ikan gabus dan karamunting, dua komoditas yang bisa didapat dari kanal-kanal lahan gambut. Setelah itu, mereka dilatih menulis dengan lebih baik dengan mendatangkan dua penulis dari Jakarta. Pada hari ketiga, peserta diajak turun ke lahan gambut, seperti saat bertemu dengan Silpanus tersebut.

Matahari kian terik. Setelah mendapatkan penjelasan tentang fungsi sekat kanal berikut pengolahan tanah di lahan gambut, Muhammad Andi (24), guru salah satu sekolah negeri di Palangka Raya, berdiri tak jauh dari sekat kanal, lalu meminta rekannya untuk membuat video. Dia kemudian menjelaskan sebagian yang didapat selama ekspedisi berlangsung. Konten video tersebut akan dia unggah ke media sosial.

Hamka termasuk peserta yang aktif di media sosial. Instagram-nya diikuti oleh tak kurang dari 3.000 akun. Dia juga aktif di akun @projectsmile_kalimantan dan @climateconservationeducation. Keaktifan dan jumlah pengikut di media sosial menjadi salah satu pertimbangan panitia memilih sukarelawan.

Selepas ekspedisi ini, setiap peserta diwajibkan membuat tulisan untuk diterbitkan di berbagai media. Ada yang berencana menerbitkannya di Kompasiana, Mojok.co, dan rri.co.id. Umar sudah menulis dua pertiga bagian tentang ekowisata lahan gambut. ”Tinggal kesimpulan dan bagian akhir. Rencananya akan saya terbitkan di Mojok.co,” katanya.

Sementara itu, Andi telah membuat tulisan yang diterbitkan di rri.co.id Palangka Raya dengan judul ”Potensi Tumbuhan di Lahan Gambut sebagai Produk UMKM”. Tulisan ini menyoroti kreativitas warga dalam memanfaatkan karamunting (Rhodomyrtus tomentosa) dan kalakai sebagai sumber pangan atau komoditas untuk diperjualbelikan setelah diolah warga.

Sebanyak 15 sukarelawan tersebut kembali ke daerah masing-masing sembari terus menyebarkan informasi dan narasi tentang kesadaran untuk menjaga lingkungan. Ragam tulisan seperti karya Umar dan Andi menjadi contoh tentang upaya menyebarkan kesadaran tersebut.

https://www.kompas.id/baca/muda/2024/06/24/menebar-kesadaran-jaga-lingkungan