Artikel terbit di harian Kompas, 9 Oktober 2020 dengan judul “Desa Gambut Dibuat Melek Hukum”
Masyarakat di desa gambut banyak mengalami permasalahan hukum termasuk sangkaan pembakaran lahan gambut. Pembentukan paralegal masyarakat gambut sangat penting untuk meningkatkan pendidikan dan penyadaran hukum kepada masyarakat yang tinggal di desa gambut.
Foto: Pendampingan untuk aspirasi masyarakat desa di tingkat tapak
Deputi Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan BRG, Myrna A. Safitri, mengakui bahwa masyarakat yang memperjuangkan lingkungan-termasuk mereka yang tinggal di sekitar lahan gambut- lebih banyak berisiko terjerat hukum atau kriminalisasi. Namun, ironisnya pengetahuan hukum di masyarakat sangatlah terbatas.
“Pentingnya memberikan pendampingan hukum ini tidak hanya karena persoalan kerentanan terhadap kebakaran hutan dan lahan, tetapi juga ada situasi tertentu di wilayah 1.205 desa peduli gambut yang di dalamnya adalah areal yang tumpang tindih dengan areal konsesi ataupun konservasi.” ujarnya dalam webinar “Desa Gambut Membangun Hukum” yang diselenggarakan Yayasan Kemitraan, pada Kamis 8 Oktober 2020.
Myrna menjelaskan, pihaknya memfasilitasi pembentukan paralegal komunitas di desa-desa gambut. Pembentukan ini juga berangkat dari minimnya pemberi dan pendamping bantuan hukum di masyarakat. Paralegal masyarakat gambut memiliki sejumlah tujuan, yakni meningkatkan pendidikan dan penyadaran hukum serta memberikan pemahaman dan wawasan resolusi konflik sumber daya alam terkait restorasi atau pemanfaatan gambut. Paralegal juga bertujuan mengembangkan partisipasi dan kapasitas masyarakat dalam penyelesaian masalah hukum.
Tersebar
Saat ini telah ada 759 paralegal masyarakat gambut yang tersebar di tujuh provinsi program Desa Peduli Gambut. Jumlah terbanyak berada di Kalimantan Tengah dengan 205 paralegal, disusul Kalimantan Barat (135), Sumatera Selatan (126), Riau (102), Jambi (80), Kalimantan Selatan (71) dan Papua (40). Proporsi paralegal masyarakat gambut ialah 88 persen laki-laki dan 12 persen perempuan.
Paralegal dalam memberikan bantuan hukum diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia Nomor 1 Tahun 2018 tentang Paralegal dalam Pemberian Bantuan Hukum. Bantuan hukum tersebut dilakukan mulai dari penyuluhan, konsultasi, investigasi perkara, penelitian, mediasi, negosiasi, pemberdayaan masyarakat, pendampingan, hingga perancangan dokumen hukum.
Direktur Eksekutif Epistema Institute, Asep Yunan Firdaus, mengatakan paralegal dan Epistema Institute telah mendampingi 152 kasus yang meliputi konflik tumpang tindih lahan, sertifikat tanah, kerusakan lingkungan, perhutanan sosial dan kebakaran lahan. Hasil survei evaluasi juga menyatakan bahwa masyarakat puas terhadap peran paralegal dalam mendampingi sejumlah kasus lingkungan.
“Paralegal dipandang sangat bermanfaat dan dibutuhkan, minimal tempat untuk bertanya, mengadu dan menjadi pendamping. Masyarakat juga meminta agar jumlah paralegal ditambah karena ada banyak permintaan di desa-desa,” tuturnya.