“Meningkatkan kewaspadaan masyarakat menjadi penting dengan fokus utama kampanye perlindungan gambut di wilayah prioritas. Penelitian lebih lanjut sangat penting untuk dilakukan. Inovasi peta sebaran dan kondisi lahan gambut dengan dukungan teknologi serta kegiatan di lapangan adalah mutlak. Yang terpenting dari semuanya adalah menjaga agar gambut tetap basah.”
Demikian kutipan pernyataan yang disampaikan oleh Prof. Dr. Dr. h.c. Hans Joosten dalam Diskusi Ilmiah Terfokus dengan topik “Berkelana Mengarungi Ilmu Pengetahuan Gambut Tropis dan Ekosistem Gambut Sub Tropis (Pengelolaan dan Restorasi)”. Dari distribusi selebaran elektronik pembicara yang tampil adalah Prof. Emil Salim, M.A, Ph.D – Tokoh Lingkungan Hidup Indonesia, Prof.Dr.Dr.h.c. Hans Joosten – Profesor Studi Gambut dan Paleoekologi, Universitas Greifswald, Jerman, Dr. Haris Gunawan – Deputi Penelitian dan Pengembangan BRG RI, Prof. Azwar Maas – Ketua Kelompok Ahli BRG RI, Guru Besar Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Akan tetapi Prof. Emil Salim berhalangan untuk hadir saat acara diskusi digital tanggal 11 Agustus 2020 lalu.
Pesan kunci dari diskusi digital yang berlangsung 2 jam 30 menit ini adalah bahwa para pihak yang berkecimpung dalam pengelolaan, pemulihan dan perlindungan ekosistem gambut harus memahami fungsi ekosistem terkait jenis bahan organik pembentuknya untuk melakukan pengelolaan yang benar. Tersebab kebakaran gambut besar dua kali tahun 1997/98 dan 2015 sudah merusak tatanan pemahaman segitiga kehidupan di lahan gambut yakni vegetasi, gambut dan air. Dimana ketiga komponen ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Jika satu aspek berubah maka semua ikut berubah.
Tata hidrologis lahan gambut adalah sangat penting, karena itu pengelolaan ekosistem berbasis hidrologi perlu didukung perhitungan komponen siklus hidrologi yang presisi dalam KHG (Kesatuan Hidrologis Gambut). Karena gambut dapat mengakumulasi air selama ribuan tahun dan sekaligus menyimpan karbon. Gambut hanya meliputi 3% dari daratan dunia tetapi mampu menyimpan lebih dari 500 Gigaton karbon, yang artinya dua kali dari total biomassa hutan dunia.
Akar permasalahan di lahan gambut berawal dari over drainase atau pengeringan lahan gambut berlebihan untuk berbagai kepentingan terutama budidaya tanaman lahan kering. Jadi, sebenarnya bukan gambut yang menyesuaikan kondisi tumbuh tanaman tetapi tanaman dipilih yang tahan hidup di kondisi basah yang mestinya ditanam di lahan gambut. Tidak ada lahan gambut yang bisa dikeringkan secara berkelanjutan. Menurut Prof. Joosten hanya ada dua pilihan yaitu, apabila gambut terus dikeringkan, maka limpahan banjir dari air sungai/pasang laut akibat subsidence atau lahan gambut akan hilang. Perspektif gambut hilang belum masuk dalam bayangan masyarakat atau pengelola lahan, namun itu adalah kehilangan kesempatan hidup dan bercocok tanam di lahan gambut yang basah.
Akhirnya, jika semua pihak sudah setuju untuk menghentikan perkembangan buruk yang memicu bencana menuju peningkatan suhu bumi, karena rentetan ancaman yang akan muncul dari berkurangnya stok pangan, ketahanan air, meningkatnya gangguan sosial, konflik, migrasi, ancaman kehidupan dan kerugian finansial yang sangat besar.
Karena itulah juga, Kedeputian Penelitian dan Pengembangan BRG, akan memaksimalkan modalitas-modalitas dari penelitian sejak tahun 2017. Aspek biofisika, geologi, geomorfologi dan pedologi perlu dimasukkan untuk pengelolaan gambut berkelanjutan, melalui komoditas asli ramah gambut, potensi jasa ekosistem dan nilai ekonomi karbon untuk manfaat positif bagi masyarakat baik segi ekonomi, ekologi dan sosial-budaya.