Sebagai negara kemaritiman, Indonesia memiliki wilayah mangrove terbesar di dunia yakni seluas 3.364.081 hektare (ha) yang perlu dirawat dan dijaga eksistensinya.
Mangrove memiliki fungsi dalam menahan sedimen, melindungi garis pantai, sebagai penyerap nutrisi dan karbon, serta sebagai habitat satwa liar.
Sayangnya, masih ditemukan penebangan hutan mangrove untuk bahan baku bangunan, dan alih fungsi menjadi tambak.
Melihat kerusakan mangrove yang ada, pemerintah Indonesia berupaya untuk memulihkan ekosistem mangrove dengan memberikan mandat kepada Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) melalui Peraturan Presiden Nomor 120 Tahun 2020 untuk Restorasi Gambut dan Percepatan Rehabilitasi Mangrove.
Pada 2021, BRGM telah melakukan realisasi penanaman mangrove di 32 provinsi dengan total luas 34.912 ha. Seluas 31.400 ha dilakukan di sembilan wilayah prioritas BRGM dan 3.512 ha terlaksana di 23 provinsi lainnya.
Salah satu wilayah kerja BRGM dalam percepatan rehabilitasi mangrove adalah Kepulauan Bangka Belitung. Tahun lalu, BRGM telah melakukan realisasi penanaman seluas 3.900 ha menggunakan skema pemulihan ekonomi nasional (PEN) Mangarove .
Dalam proses penanaman, pemeliharaan, hingga pembibitan, BRGM membutuhkan keterlibatan kelompok masyarakat (pokmas) yang tinggal di sekitar mangrove. Salah satunya Kelompok Tani Hutan (KTH) Mutiara Laut di Desa Dendang, Kabupaten Belitung Timur, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Pokmas ini telah melakukan penanaman sebanyak 250.000 mangrove di lahan seluas 50 ha. Hingga saat ini, KTH Mutiara Laut, mampu melakukan pembibitan sebanyak 10.000 bibit berjenis yakni Rhizopora.
Ketua Pokmas KTH Mutiara Laut, Suhendi mengaku, kesulitan dalam mengajak masyarakat menanam mangrove,
“Awalnya, masyarakat meremehkan penanaman mangrove, tapi kami terus melakukan pendampingan melalui sosialisasi dan rapat-rapat. Ketika kegiatan mulai berjalan, dan melihat hasil dari penanaman mangrove, satu-satu masyarakat mulai ikut bergabung,” ucap Suhendi dalam keterangan tertulisnya, Jumat (5/8/2022).
Selama proses penanaman KTH Mutiara Laut mengalami tantangan seperti cuaca yang tak menentu, pasang air laut, dan keberadaan binatang liar seperti buaya yang menghambat pertumbuhan mangrove sehingga banyak yang mati.
Selain itu, diakui Suhendi pokmasnya belum bisa mengelola buah mangrove menjadi produk olahan baik sirup, maupun kerajinan tangan.
“Saat ini, mangrove yang kami tanam, hanya kami tanam saja. Jika ada buahnya, kami simpan untuk bibit penanaman lagi. Kami menyambut baik apabila ada pendampinga untuk pengelolaan buah mangrove menjadi produk olahan, dan berharap agar program penanaman dapat terus dilanjutkan,” Ujar Suhendi.
Anggota KTH Mutiara Laut, Jemahat mengaku, dengan adanya penanaman mangrove membuat penghasilan mereka meningkat.
“Penghasilan kami bertambah. Dari penanaman mangrove sendiri kami mendapatkan (upah) Hari Orang Kerja (HOK) sebesar Rp 125.000 per hari,
Jemahat mengakui program penanaman mangrove sangat membantu mereka, terlebih saat menghadapi pandemi Covid-19 yang membuat mereka susah mencari ikan.
“Alhamdulillah, melalui penanaman ini bukan hanya anggota yang terbantu, ibu-ibu yang tinggal di sekitar sini, bisa ikut menanam juga,” ucap Jemahat.
Ia menambahkan, melalui penanaman ini, salah satu anggota pokmas dapat menabung untuk membeli mesin kapal baru.
Kepala Kelompok Kerja Rehabilitasi Mangrove Wilayah Sumatera, Onesimus Patiung mengatakan, rehabilitasi mangrove dengan skema PEN memberikan dampak positif.
“Pemulihan ekosistem yang melibatkan masyarakat langsung akan menumbuhkan partisipasi aktif untuk menjaga dan melindungi mangrove dari kerusakan,” ucap Ones.