“Ekosistem Mangrove di Indonesia sudah banyak mengalami perubahan-perubahan, termasuk perubahan tata ruang dan peruntukan mangrove itu sendiri” ujar Dr. Ayu Dewi Utari, Sekretaris Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) pada kegiatan Sosialisasi Percepatan Rehabilitasi Mangrove Provinsi Sumatera Utara (14/7).
Perubahan yang dimaksud Ayu adalah pemanfaatan ekosistem mangrove menjadi tambak. Tambak tidak dapat dipungkiri memang menguntungkan secara ekonomi. Akan tetapi, pengelolaannya perlu memperhatikan kelestarian ekosistem mangrove. Bahkan manfaat ekonomi secara jangka panjang tergantung pada keutuhan mangrove di sekelilingnya. Sehingga mangrove yang rusak perlu direhabilitasi.
Kelestarian mangrove penting dijaga karena secara ekologi mangrove dapat menahan lajunya abrasi dan benteng dari hantaman ombak. Rusaknya ekosistem mangrove juga akan merugikan masyarakat secara ekonomi karena fungsinya sebagai tempat pemijahan biota laut seperti udang dan kepiting hilang.
Kerusakan ekosistem mangrove di Indonesia dengan kategori kritis telah mencapai 637.000 hektare. Hal ini juga yang melatarbelakangi penambahan mandat BRGM di akhir tahun 2020 lalu.
BRGM, sebagaimana yang tertuang dalam Perpres No. 120 Tahun 2020, akan melakukan rehabilitasi mangrove di 9 provinsi selama empat tahun sampai 2024. Salah satu provinsi targetnya adalah Sumatera Utara.
Luasan areal mangrove rusak kritis di Sumatera Utara dan menjadi target indikatif rehabilitasi mangrove BRGM sampai tahun 2024 sekitar 37.000 hektare. Sedangkan target tahun 2021 adalah seluas 11.600 hektare, sekitar 5.000 hektare akan dilaksanakan BRGM bersama Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Wampu Sei Ular. Sisanya akan dilaksanakan bersama BPDASHL Asahan Barumun.
Kegiatan rehabilitasi mangrove yang dilakukan BRGM di tingkat tapak akan dilakukan oleh masyarakat melalui penanaman bibit mangrove, termasuk pada areal tambak. Kegiatan di areal tambak, menurut Ayu, banyak mengalami penolakan dari pemiliknya.
“Penolakan ini dikarenakan adanya pemahaman dan ketakutan pemilik tambak akan terjadinya perubahan fungsi kawasan menjadi kawasan hutan atau tanah negara setelah dilakukan rehabilitasi,” tambah Ayu pada kegiatan yang dilaksanakan secara virtual ini.
Pemahaman ini kurang tepat, tutur Ayu, karena kegiatan penanaman bibit mangrove ini areal tambak, selain dapat mengembalikan fungsi ekologi mangrove juga meningkatkan produktivitas tambak yang lebih ramah lingkungan.
Hal ini dikarenakan, pola tanam yang ditawarkan BRGM cukup beragam, yaitu tanam murni pada areal rusak total, silvofishery, pengkayaan dan rumpun berjarak. Pola tanam yang akan digunakan berdasarkan kondisi mangrove di tingkat tapak.
Pelaksanaan rehabilitasi mangrove di tingkat tapak di Sumatera Utara juga memerlukan dukungan dari berbagai pihak, termasuk didalamnya pemerintah daerah, unit pelaksana teknis, dinas, lembaga swadaya masyarakat, universitas dan masyarakat.
“Ayo kita sukseskan rehabilitas mangrove di Sumatera Utara,” ajak Ayu sekaligus membuka kegiatan sosialisasi ini secara resmi.