Kemarau di masa pandemi Covid-19 saat ini bisa menjadi ancaman berganda bagi petani. Jika kabut asap muncul seperti tahun-tahun lalu, kondisi petani dan masyarakat di lahan gambut akan semakin susah. Namun bisa juga memberi tantangan sekaligus peluang bagi petani kreatif di lahan gambut. Karena dari catatan pengalaman kebencanaan yang sudah terjadi, petani sudah membuktikan daya lenting (resiliensi) mereka dan bisa mengambil langkah cerdas.
Menurut beberapa sumber literatur (Patel, dkk/2017) bahwa resiliensi komunitas penting dalam merespons, bertahan, dan bangkit dari berbagai dampak buruk bencana. Meski tiada kesepakatan tunggal soal konsepnya, pandangan umum dari berbagai studi mengarah pada kebutuhan terhadap resiliensi. Beberapa elemen dalam resiliensi komunitas di antaranya, pengetahuan lokal, jejaring dan keterhubungan, komunikasi efektif, kesehatan, sumber daya, dan dukungan publik.
Selain memperkuat elemen-elemen resiliensi tersebut, di sisi lain perlu juga ditingkatkan perihal pengawasan dan penegakan hukum untuk pencegahan, penanganan dan penindakan kebakaran di lahan gambut. Terutama untuk pencegahan kebakaran lahan gambut mencakup lintas sektor pada satu hamparan lahan gambut dan terus mengawal proses perubahan perilaku.
Sejauh ini, misalnya pengenalan dan edukasi budidaya tanpa bakar melalui Sekolah Lapang Petani Gambut sudah mulai diadopsi dan mulai memberi hasil. Sekolah Lapang Petani Gambut yang difasilitasi BRG sejak 2018 menguji coba pertanian di lahan gambut dengan tak membakar. Ini melibatkan hampir 800 kader yang membangun dan mengelola kebun contoh (demplot) pertanian berkelanjutan. Dari 265 demplot dikembangkan dengan skala kecil ada beragam jenis tanaman menyesuaikan kondisi lahan gambut yang ada.
Budidaya ramah gambut tersebut yang melengkapi kondisi infrastruktur pembasahan gambut (sekat kanal, sumur bor) untuk menjaga kelembaban lahan gambut serta pemantauan tinggi muka air adalah langkah yang harus terkoordinasi dari awal mengantisipasi kemarau tahun ini. Untuk wilayah-wilayah yang sulit terjangkau, pemerintah juga segera melaksanakan operasi teknologi modifikasi cuaca. Badan Restorasi Gambut (BRG), dengan fungsi koordinasi dan fasilitasi berada di lini pencegahan dengan melakukan banyak hal antisipasi.
Karena pada akhirnya, resiliensi harus berjalan bersamaan dengan tindakan kolektif pencegahan kebakaran di lahan gambut untuk mencegah terulangnya bencana karhutla. Petani dan masyarakat dengan segala daya upaya dan keswadayaan butuh dukungan itu.
https://www.republika.id/posts/6817/kemarau-pandemi-dan-resiliensi-petani