Sudah saatnya Indonesia meninggalkan konsep pembangunan ekonomi seperti tahun1950-an yang tidak melibatkan dimensi lingkungan dan dimensi sosial. “Saatnya kita menerapkan konsep pembangunan ekonomi di bawah payung sustainable development,” kata Emil Salim, tokoh lingkungan internasional, di acara Public Lecture tentang Kebijakan Pengelolaan Gambut di Indonesia Ditinjau dari Aspek Ekologi, Ekonomi, dan Sosial yang digelar Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, di Jakarta, Selasa (27/2). Lebih lanjut Emil Salim mengatakan dunia sudah sepakat mengejar cita-cita tahun 2030 bebas dari perubahan iklim, sosial bebas dari kemiskinan, dan ekonomi yang inklusif. Indonesia ikut dalam komitmen ini seperti yang diutarakan Presiden Jokowi dalam Konferensi Perubahan Iklim di Paris 2015. Komitmen yang diberikan Indonesia adalah mengurangi emisi karbon 29% di bawah business as usual pada tahun 2030 dan 41% dengan bantuan internasional.
Komitmen pengurangan emisi karbon ini tengah dijalankan oleh Badan Restorasi Gambut (BRG) yang mendapat mandat dari Presiden Joko Widodo untuk merestorasi lahan gambut seluas 2,5 juta hektar di tujuh provinsi. Gambut yang menjadi sasaran restorasi adalah lahan yang terbakar pada 2015 dan kubah-kubah gambut yang sudah terbuka dan terdegradasi. Kubah gambut yang terdegradasi bisa dilihat dari kerapatan kanal. Makin banyak kanalnya berarti makin kering dan rusak gambut itu. Ini berpotensi terbakar. Hal itu dikemukakan oleh Kepala Badan Restorasi Gambut Nazir Foead. “Sekitar 33 persen dari jumlah lahan yang terbakar pada 2015 merupakan lahan gambut, yang merupakan penyimpan karbon dalam jumlah yang amat besar. Dari hasil kebakaran lahan gambut selama kurang lebih tiga bulan, diperkirakan mengeluarkan emisi 800 mega hingga 1,6 giga metrik ton setara karbon dioksida,” kata Nazir.
BRG menerapkan pendekatan 3R (rewetting, revegetasi, dan revitalisasi mata pencaharian penduduk). Rewetting dilakukan dengan menyekat kanal-kanal bahkan kalau perlu menutup kanal-kanal untuk membasahkan kembali gambut. Pembasahan gambut bertujuan menjaga tinggi permukaan air. Pembasahan ini tidak akan berjalan efektif bila tak didukung dengan tajuk atau tanaman yang menaunginya agar penurunan muka air pada musim kemarau tidak berlangsung cepat. Karena itulah perlu revegetasi. Dengan revitalisasi, masyarakat diberdayakan untuk mengelola lahan gambut sebagai tempat budidaya, seperti sagu, nanas, purun, dan tanaman paludikultur lainnya serta perikanan air tawar. “Yang perlu diperhatikan adalah lahan gambut yang masih bagus tetap kita jaga, sementara gambut yang sudah rusak dan ada tanaman komoditas di atasnya seperti HTI pengelolaannya diatur sesuai peraturan Menteri KLHK,” ujar Nazir.
Kosuke Mizuno, peneliti Center for Southeast Asian Studies Kyoto University, Jepang, menyebutkan lahan gambut sangat rentan dilihat dari sudut pandang ekologis dan sosial. “Degradasi gambut dimulai saat pengembangan besar-besaran perkebunan sawit karena tanaman ini membutuhkan lahan yang kering sehingga dibangunlah drainase skala besar untuk pengeringan gambut,” kata Mizuno. Indonesia sangat menggantungkan perekonomiannya pada ekspor komoditas primer seperti sawit mentah atau CPO sehingga hal ini mendorong pada pengembangan horizontal kelapa sawit. Seharusnya Indonesia lebih mengembangkan industri atau hilirisasi produk sawit. “Cara utama rehabilitasi gambut adalah pembasahan kembali gambut atau rewetting, penanaman kembali tanaman gambut dan tanaman
adaptif untuk menjadi tutupan gambut, dan revitalisasi perekonomian penduduk di area gambut,” jelas Mizuno.