Ekosistem gambut yang dikembangkan saat ini masih belum banyak dikaitkan dengan isu-isu kebudayaan. Padahal, penelitian arkeologi menunjukkan lahan gambut sudah dihuni manusia sejak ribuan tahun lalu. Apalagi bukti-bukti arkeologi sudah menunjukkan dengan jelas bahwa bahwa lingkungan rawa gambut telah dihuni serta dipilih sebagai tempat tinggal manusia sejak zaman kuno. Bedanya, jika pemukiman saat ini muncul dengan perilaku yang acap merusak lingkungan, lingkungan rawa gambut pada zaman dahulu dimanfaatkan dengan cara bijak sesuai dengan kondisi alam.
Pernyataan perihal adanya kebudayaan dan pemukiman masyarakat kuno di rawa gambut disampaikan oleh Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sekaligus mantan Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, Dr. Junus Satrio Atmodjo dalam Kuliah Daring Perlindungan Gambut dalam Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan, yang diadakan Badan Restorasi Gambut tanggal 2 Juli 2020, pukul 14.00 – 16.00 WIB. Topik khusus yang unik serta jarang dibahas ini ternyata sangat menarik minat pecinta sejarah, studi kepurbakalaan serta ekosistem rawa gambut dimana pada kedua ruang virtual Zoom dan Youtube tercatat sekitar 550 pemerhati hadir.
Berdasarkan kajian dan penelitian ditemukan dua pemukiman kuno rawa gambut, contohnya pemukiman Batujaya di Pantai Utara Jawa Barat dan Nipah Panjang di Pantai Timur Jambi. Pemukiman Batujaya dibangun sekitar abad ke-5 hingga ke-7 Masehi, sedangkan Nipah Panjang pada abad ke-12 hingga ke-13 Masehi. Padahal rawa gambut merupakan daerah yang berair, berlumpur, tidak berpenghuni, lembab, dan banyak binatang buas. Kondisi ini menimbulkan spekulasi bahwa rawa gambut tidak mungkin menjadi tempat tinggal manusia zaman dahulu. Nyatanya, Nipah Panjang sejak jaman dahulu sudah menjadi pemukiman masyarakat kuno, ditegaskan dari sejumlah penemuan arkeologi seperti sisa perahu kuno hingga sisa tiang kayu untuk menopang rumah. Sekarang daerah ini merupakan wilayah di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi.
Fakta sejarah tak bisa dipungkiri, pada abad ke-10 hingga ke-14 Masehi, laut dangkal di timur Kota Jambi dan Palembang tertutup oleh sedimen bawaan sungai Batanghari dan Musi. Kondisi inilah yang kemudian membuat kawasan Nipah Panjang dan area di sekitarnya menjadi dataran rawa yang sangat luas. “Dari penelitian arkeologi ini diketahui bahwa rawa menjadi pilihan untuk hidup dan dikolonisasi oleh manusia. Tetapi cara masyarakat kuno mengolonisasikannya dengan menyesuaikan (kondisi) alam. Mereka tidak melakukan perusakan besar-besaran,” ungkapnya.
Restorasi berbasis kebudayaan
Di sisi lain, menurut Deputi Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan Badan Restorasi Gambut (BRG) Dr. Myrna Safitri mengatakan bahwa kajian ekosistem gambut dari perspektif kebudayaan dan kepurbakalaan sangat penting. Sebab, ekosistem gambut yang dikembangkan saat ini masih belum banyak dikaitkan dengan isu tersebut. Ada ribuan desa dan pemukiman lama serta komunitas adat yang tersebar dalam target restorasi gambut seluas 2,67 juta hektar di tujuh provinsi.
Ditambahkan oleh Ibu Myrna, aspek kebudayaan akan jadi relevan dimasukkan dalam pembahasan terkait restorasi gambut. “Selalu ada kaitan antara kebudayaan dengan ekosistem alamnya. Kalau saat ini ekosistem gambut kita sudah banyak yang rusak, jadi pertanyaan pentingnya adalah bagaimana kondisi di masa lalu dan apa upaya yang sudah dilakukan oleh masyarakat di masa lalu,” katanya. Jika ekosistem gambut terlanjur rusak sama artinya dengan usaha menghapus dan merusak bukti sejarah. Masyarakat perlu dilibatkan untuk menyadari ini agar ekosistem gambut dapat turut dijaga kelestariannya.